Dahulu kala
Sungai Bengawan Solo mengalir tenang dari hulunya di wilayah utara hingga
bermuara di Pantai Sadeng yang kini berada di Kabupaten Gunung Kidul. Namun,
empat juta tahun yang silam, sebuah proses geologi terjadi. Lempeng Australia
menghujam ke bawah Pulau Jawa, menyebabkan dataran Pulau Jawa perlahan
terangkat. Arus sungai akhirnya tak bisa melawan hingga akhirnya aliran pun
berbalik ke utara. Jalur semula akhirnya tinggal jejak yang perlahan mengering
karena tak ada lagi air yang mengalirinya. Wilayah ini menjadi kaya akan
bukit-bukit kapur yang menurut beberapa penelitian, semula merupakan
karang-karang yang berada di bawah permukaan laut.
Kini, bekas
aliran sungai yang populer lewat lagu keroncong berjudul Bengawan Solo ciptaan
Gesang itu menjadi objek wisata menarik. Tak ketinggalan Pantai Sadeng yang
menjadi muaranya, selain menjadi objek wisata juga menjadi salah satu pelabuhan
perikanan besar di Yogyakarta. Keduanya menjadi jejak geologi yang berharga.
Beberapa waktu lalu, sempat diadakan paket wisata menyusuri jalur Bengawan Solo
Purba hingga muaranya.
Dalam
perjalanan menuju Pantai Sadeng, beberapa ratus meter jalur aliran Bengawan
Solo Purba bisa dinikmati pemandangannya. Jalur aliran itu bisa dilihat setelah
sampai di dekat plang biru bertuliskan “Girisubo – Ibukota Kecamatan”. Berhenti
sejenak di pinggir jalan menuju pantai atau berjalan perlahan adalah cara
paling tepat untuk menikmati pemandangan bekas aliran ini, sekaligus memberi
kesempatan mengabadikannya dengan kamera. Tampak dua buah perbukitan kapur yang
tinggi memanjang mengapit sebuah dataran rendah yang semula adalah jalur
aliran. Dataran rendah yang kini menjadi lahan berladang palawija penduduk
setempat itu berkelok indah, memanjang sejauh 7 kilometer ke arah utara, hingga
wilayah Pracimantoro di Kabupaten Wonogiri. Kelokannya membuat mata tergoda
untuk menyusurinya ke utara hingga ke tempat pembalikan aliran sungainya.
Jalur aliran
juga bisa disusuri ke arah selatan hingga bekas muaranya di Pantai Sadeng.
Menurut penuturan salah seorang nelayan, muara Bengawan Solo Purba berada di
pantai sebelah timur, wilayah yang kini termasuk areal pelabuhan perikanan.
Meski demikian, penyusuran ke selatan tak akan seindah ke utara, sebab jalan
yang menuju ke Pantai Sadeng tidak searah dengan jalur aliran sungai terbesar
di Jawa itu.
Bila telah
sampai ke pantainya, maka pemandangan berbeda akan dijumpai. Wilayah pantai
juga telah mengalami perubahan, seperti jalur aliran yang kini menjadi
ladang-ladang penduduk. Pantai Sadeng kini menjadi pelabuhan perikanan di
Yogyakarta yang paling maju, terbukti dengan kelengkapan sarana pendukungnya,
seperti perahu motor yang berukuran lebih besar, terminal pengisian bahan
bakar, rumah pondokan nelayan hingga tempat pelelangan ikan dan koperasi.
Berkembangnya
Sadeng sebagai pelabuhan ikan pun punya cerita tersendiri. Sekitar tahun 1983,
serombongan nelayan ikan dari Gombong, Jawa Tengah datang ke tempat ini. Mereka
menganggap Sadeng sangat berpotensi sebagai tempat melaut. Tantangannya cukup
berat, bukanhanya karena ombak laut selatan yang besar, tetapi juga kepercayaan
penduduk setempat yang tak memperbolehkan melaut dan wilayah pantai yang konon
wingit. Namun, salah satu nelayan bernama Pairo yang ditemui YogYES,
mengungkapkan bahwa nelayan Gombong saat itu berkeyakinan, “Sopo Wae mlebu
Sadeng Sedeng”. Berarti, siapa saja berani tinggal di Sadeng akan diberi
kekuatan untuk hidup. Akhirnya, bertahanlah serombongan nelayan dari Gombong
itu, sedikit demi sedikit hingga hasil tangkapan ikan pun terus meningkat dan
mereka mampu bertahan hidup.
Kemajuan pun
terus dicapai. Tahun 1986, didirikan tempat pelelangan ikan dan dibangun
pelabuhan yang dilengkapi mercusuar untuk mendukung aktivitas perikanan.
Sekitar tahun 1989, berdiri sebuah koperasi untuk membantu para nelayan. Hingga
akhirnya pada tahun 1995, berdiri kantor yang mengurus hasil tangkapan ikan
sekaligus pondokan serupa rumah petak yang dikontrakkan untuk para nelayan.
Berkeliling ke
penjuru pantai adalah cara untuk menikmati kemajuan perikanan di Sadeng. Akan
tampak sekelompok nelayan yang membersihkan perahu, mengangkut ikan dari perahu
ke tempat pelelangan, menggiling es batu untuk dimasukkan dalam kotak ikan
sebelum didistribusikan, hingga ibu-ibu nelayan yang mengasuh anak-anak di
pondokan. Seluruh warga pantai seolah sibuk dengan aktivitas perikanannya. Selain
itu, bisa juga menyusuri bibir pantai di sebelah timur dan menuju gundukan
pasir yang berada di dekat mercusuar. Pemandangan laut lepas akan tampak jelas,
beserta deburan ombaknya yang besar. Tak seperti pantai di Gunung Kidul
umumnya, Sadeng tak banyak memiliki karang-karang raksasa sehingga pandangan
mata tak akan terhalang. Kadang, bisa juga disaksikan perahu nelayan yang
tengah melaut.
Mengunjungi
Sadeng bagaikan menyaksikan sebuah proses evolusi. Selama perjalanan, bisa
dikenang evolusi dataran rendah jalur aliran Bengawan Solo Purba dari tempat
mengalirnya air hingga menjadi ladang palawija yang produktif. Sementara,
mengunjungi pantainya seolah mengenang pantai yang semula muara sungai menjadi
daerah sepi dan akhirnya berkembang menjadi pelabuhan perikanan terbesar di
Yogyakarta.
Siip bagus
BalasHapus