Setelah
sukses atas pementasan di Singapura dan Jakarta, pertunjukan sendratari kolosal
Matah Ati akhirnya “pulang kampung”, dan dipentaskan di Pamedan Mangkunegaran,
Solo, pada tanggal 8, 9, dan 10 September 2012. Konsepnya
berbeda dengan pementasan sebelumnya, karena dipentaskan di panggung
terbuka dengan ukuran panggung tiga kali lebih besar. Jay
Subyakto selaku penata artistik, mengaku bisa leluasa bermain dengan api
di panggung outdoor,
hal ini tentu sulit dilakukan di panggung indoor.
Sebanyak
5.000 undangan kelas festival setiap harinya telah habis dibagikan. Pemegang
undangan kelas festival gratis menyaksikan Matah Ati dengan posisi menonton
lesehan di depan panggung. Selain itu juga dijual 1500 tiket kelas 1, VIP, dan
VVIP.
Proses
Kreatif Matah Ati
Matah
Ati bercerita tentang perjuangan dan pencarian cinta Rubiah, seorang gadis desa
yang mendampingi Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo) saat
berjuang melawan penjajah Belanda. Matah Ati juga menceritakan
sejarah Istana Mangkunegaran, di mana Rubiyah yang dipersunting Raden Mas Said,
kemudian diberi gelar Bandoro Raden Ayu Kusuma Matah Ati. Dari pernikahan
mereka, banyak generasi Raja Mangkunegaran lahir.
Matah
Ati terinspirasi oleh Langendriyan yang merupakan karya Raja Mangkunegoro IV.
Langendriyan adalah tarian klasik dalam gaya Mangkunegaran disertai dengan
lagu-lagu Jawa sebagai bentuk ekspresi visual.
“Indonesia
memiliki banyak cerita sejarah yang inspiratif. Matah Ati diangkat dari
perjuangan seorang wanita Jawa abad ke-18 dengan cinta dan dedikasi untuk
keluarga dan negara. Cerita ini bahkan lebih relevan pada saat ini karena
keyakinan Rubiyah pada masanya masih diyakini oleh jutaan perempuan Indonesia
saat ini,” jelas Bandoro Raden Ayu (BRAy) Atilah Soeryadjaya, pencipta, penulis
dan sutradara Matah Ati.
Tim
produksi Matah Ati menyiapkan sebuah panggung artistik yang mengusung
nuansa kontemporer untuk pertunjukan yang penuh kejutan. Tantangan tim
Matah Ati adalah bagaimana membuat pertunjukan yang mempromosikan apresiasi
budaya, bermakna namun tetap menarik untuk ditonton. Dalam menciptakan
sebuah tontonan budaya yang menarik, tim produksi melibatkan Jay Subyakto,
direktur artistik ternama yang telah memiliki pengalaman dalam berbagai
pertunjukan besar.
Jay
menggunakan panggung dengan sudut kemiringan 15 derajat, panggung
ini memungkinkan penonton untuk secara jelas mengamati formasi tari,
seolah-olah mereka duduk di barisan depan. Juga bermain dengan tata cahaya
dan efek khusus untuk memberikan nuansa magis dan megah, serta kostum yang
dirancang dengan indah.
Matah
Ati adalah pertunjukan budaya yang mengangkat koreografi dan musik tradisional
Jawa, didukung teknologi modern dan tata cahaya canggih tanpa menghilangkan
inti dari tari tradisional Jawa. Saat pementasan perdana Matah Ati di
Singapura pada tahun 2010, penonton memberikan standing ovation dan menerima banyak
pujian.
Atilah
menulis Matah Ati dua setengah tahun yang lalu berdasarkan penelitian yang
mendalam. Dia mengumpulkan data dari berbagai perpustakaan, penelusuran
artefak sejarah, dan wawancara langsung untuk mendapatkan informasi rinci dan
fakta pendukung. Karena keterbatasan literatur tentang Rubiyah, cerita
dikembangkan berdasarkan analisis yang didukung oleh artefak yang sudah
ada. Sebagai contoh, formasi tarian di sejumlah adegan menampilkan Rubiyah
di tengah dikelilingi oleh para prajurit perempuannya. Hal ini terinspirasi
oleh makam Rubiyah di Astana Gunung Wijil, Jawa Tengah, di mana makamnya juga
dikelilingi oleh makam prajurit perempuan.
Atilah
menggunakan cara yang sama dalam merancang kostum. Referensi berasal dari
berbagai kostum abad ke-18 Jawa kuno yang dikumpulkan dari perpustakaan Istana
Mangkunegaran. Untuk melengkapi keseluruhan artistik, Atilah juga
memberikan sentuhan warna seni kontemporer.
Dalam
menciptakan sebuah cerita yang diterjemahkan melalui tarian tradisional Jawa,
Atilah berdiskusi dengan tim yang terdiri dari tiga profesor tari dari Institut
Seni Indonesia (ISI), Surakarta. Bersama dengan seniman profesional yang
merupakan lulusan ISI, koreografer, dan produser kreatif terbaik di Indonesia
membuat tim produksi lebih dari 150 orang. Pertunjukan ini melibatkan 300
penari dan musisi gamelan.
“Terobosan
artistik dalam seni pertunjukan akan mendapatkan keuntungan yang besar jika
penonton bisa menonton di panggung yang menakjubkan. Fakta-fakta sejarah
tentang Rubiyah mendampingi Mas Raden Said dalam pertempuran dan memimpin 40
prajurit perempuan dibungkus dalam sebuah pertunjukan seni menakjubkan sehingga
kita dapat menyaksikan pertunjukan budaya di panggung modern. Mudah-mudahan,
pertunjukan tari ini dapat menjadi sumber kebanggaan serta memperkuat cinta
atas warisan budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa,” tambah Atilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar