Minggu, 13 Januari 2013

Matah Ati


Setelah sukses atas pementasan di Singapura dan Jakarta, pertunjukan sendratari kolosal Matah Ati akhirnya “pulang kampung”, dan dipentaskan di Pamedan Mangkunegaran, Solo, pada tanggal 8, 9, dan 10 September 2012. Konsepnya  berbeda dengan pementasan sebelumnya, karena dipentaskan di panggung terbuka dengan ukuran panggung tiga kali lebih besar. Jay Subyakto selaku penata artistik, mengaku bisa leluasa bermain dengan api di panggung outdoor, hal ini tentu sulit dilakukan di panggung indoor.
Sebanyak 5.000 undangan kelas festival setiap harinya telah habis dibagikan. Pemegang undangan kelas festival gratis menyaksikan Matah Ati dengan posisi menonton lesehan di depan panggung. Selain itu juga dijual 1500 tiket kelas 1, VIP, dan VVIP.

Proses Kreatif Matah Ati
Matah Ati bercerita tentang perjuangan dan pencarian cinta Rubiah, seorang gadis desa yang mendampingi Raden Mas Said (Pangeran Sambernyowo) saat berjuang melawan penjajah Belanda. Matah Ati  juga menceritakan sejarah Istana Mangkunegaran, di mana Rubiyah yang dipersunting Raden Mas Said, kemudian diberi gelar Bandoro Raden Ayu Kusuma Matah Ati. Dari pernikahan mereka, banyak generasi Raja Mangkunegaran lahir.
Matah Ati terinspirasi oleh Langendriyan yang merupakan karya Raja Mangkunegoro IV. Langendriyan adalah tarian klasik dalam gaya Mangkunegaran disertai dengan lagu-lagu Jawa sebagai bentuk ekspresi visual.
“Indonesia memiliki banyak cerita sejarah yang inspiratif. Matah Ati diangkat dari perjuangan seorang wanita Jawa abad ke-18 dengan cinta dan dedikasi untuk keluarga dan negara. Cerita ini bahkan lebih relevan pada saat ini karena keyakinan Rubiyah pada masanya masih diyakini oleh jutaan perempuan Indonesia saat ini,” jelas Bandoro Raden Ayu (BRAy) Atilah Soeryadjaya, pencipta, penulis dan sutradara Matah Ati.
Tim produksi Matah Ati menyiapkan sebuah panggung artistik yang mengusung nuansa kontemporer untuk pertunjukan yang penuh kejutan. Tantangan tim Matah Ati adalah bagaimana membuat pertunjukan yang mempromosikan apresiasi budaya, bermakna namun tetap menarik untuk ditonton. Dalam menciptakan sebuah tontonan budaya yang menarik, tim produksi melibatkan Jay Subyakto, direktur artistik ternama yang telah memiliki pengalaman dalam berbagai pertunjukan besar.
Jay menggunakan panggung dengan sudut kemiringan 15 derajat, panggung ini memungkinkan penonton untuk secara jelas mengamati formasi tari, seolah-olah mereka duduk di barisan depan. Juga bermain dengan tata cahaya dan efek khusus untuk memberikan nuansa magis dan megah, serta kostum yang dirancang dengan indah.
Matah Ati adalah pertunjukan budaya yang mengangkat koreografi dan musik tradisional Jawa, didukung teknologi modern dan tata cahaya canggih tanpa menghilangkan inti dari tari tradisional Jawa. Saat pementasan perdana Matah Ati di Singapura pada tahun 2010, penonton memberikan standing ovation dan menerima banyak pujian.
Atilah menulis Matah Ati dua setengah tahun yang lalu berdasarkan penelitian yang mendalam. Dia mengumpulkan data dari berbagai perpustakaan, penelusuran artefak sejarah, dan wawancara langsung untuk mendapatkan informasi rinci dan fakta pendukung. Karena keterbatasan literatur tentang Rubiyah, cerita dikembangkan berdasarkan analisis yang didukung oleh artefak yang sudah ada. Sebagai contoh, formasi tarian di sejumlah adegan menampilkan Rubiyah di tengah dikelilingi oleh para prajurit perempuannya. Hal ini terinspirasi oleh makam Rubiyah di Astana Gunung Wijil, Jawa Tengah, di mana makamnya juga dikelilingi oleh makam prajurit perempuan.
Atilah menggunakan cara yang sama dalam merancang kostum. Referensi berasal dari berbagai kostum abad ke-18 Jawa kuno yang dikumpulkan dari perpustakaan Istana Mangkunegaran. Untuk melengkapi keseluruhan artistik, Atilah juga memberikan sentuhan warna seni kontemporer.
Dalam menciptakan sebuah cerita yang diterjemahkan melalui tarian tradisional Jawa, Atilah berdiskusi dengan tim yang terdiri dari tiga profesor tari dari Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta. Bersama dengan seniman profesional yang merupakan lulusan ISI, koreografer, dan produser kreatif terbaik di Indonesia membuat tim produksi lebih dari 150 orang. Pertunjukan ini melibatkan 300 penari dan musisi gamelan.
“Terobosan artistik dalam seni pertunjukan akan mendapatkan keuntungan yang besar jika penonton bisa menonton di panggung yang menakjubkan. Fakta-fakta sejarah tentang Rubiyah mendampingi Mas Raden Said dalam pertempuran dan memimpin 40 prajurit perempuan dibungkus dalam sebuah pertunjukan seni menakjubkan sehingga kita dapat menyaksikan pertunjukan budaya di panggung modern. Mudah-mudahan, pertunjukan tari ini dapat menjadi sumber kebanggaan serta memperkuat cinta atas warisan budaya Indonesia, khususnya budaya Jawa,” tambah Atilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar