Yen ngguyu dhekik pipine//Ireng manis
kulitane/Dadi lan manise//
Lamat-lamat terdengar lagu keroncong
itu saat tiga sekawan, Dono, Murdiyo, dan Kasan tiba di Wedangan Kang Brengos.
Suaranya agak cempreng karena speaker
handphone yang dipenuhi download-tan
MP3 itu terlampau kecil. Bagi sebagian orang Solo, penggalan keroncong klasik
itu tak asing. Putri Solo, judulnya. Penyanyi keroncong kenamaan dari
Waldjinah, Soendari Soekotjo dan sebagainya pernah merekam suaranya untuk lagu
ini.
Entah siapa yang menggubahnya.
Liriknya yang dianggap sementara orang sebagai penyandra atau gambaran sosok
Putri Solo. Penggalan terakhir yang secara bebas berarti “kalau tersenyum
kelihatan lesung pipitnya//hitam manis kulitnya/menjadi kelihatan manis
sekali//” seolah meracuni siapapun untuk membayangkan keayuan sang putri.
Kebetulan malam itu di halaman Balaikota Solo diadakan pemilihan Putra Putri
Solo 2012.
“Ayu-ayu to kang putri-putri Solo ne
tadi. Dapat kenalan nggak dari finalisnya,” kata Kang Brengos menyambut ketiga
bujangan yang masih sabar berburu Putri Solo. Pertanyaan itu tak membutuhkan
jawaban tetapi lebih sebagai uluk salam seorang penjual wedang kepada
langganannya. Kang Brengos juga tak menunggu sampai ketiganya membuka suara.
Dia langsung saja menyiapkan wedang jahe, teh tape, dan kopi tubruk yang sudah
dihafal sebagai minuman kelangenan mereka.
“Rasanya tadi nggak ada ya lik putri
Solo yang punya lesung pipit,” kata Dono. Pemuda yang jago motret itu membuka
kameranya. Penasaran dengan wajah-wajah finalis Putri Solo dia ingin melihat
ulang sosok finalis Putra Putri Solo. Kasan ikut melongok. Murdiyo pilih
ngranggeh lentho di dalam lodong kaca.
“Tadi yang menang malah kulitnya
kuning langsat kok, seperti putri idaman Dono. Dia semangat banget tadi
motretnya,” sambar Murdiyo. Mulutnya omak-amuk ngunyah makanan yang terbuat
dari kacang itu. Kang Brengos mesam-mesem mendengar kata putri idaman,
tidak jarang dirinya mendengar kata itu. Cewek yang diidam-idamkan laki-laki
adalah cewek ayu yang punya punya kulit kuning langsat, bersih dan mulus.
“Kang Mur itu pancen lamur kok
mripate. Di atas panggung ya semua kelihatan putih-putih kulitnya. Mencorong
kabeh lha wong disorot lampu,” sahut Kasan menyanggah pengamatan sohibnya.
“Lha wong yang dilihat sama, duduknya
juga jejer kok bisa beda to penilaiannya,” kata Kang Brengos sembari menaruh
wedang di depan ketiga orang itu. Dono masih memeloti kamera digital hadiah
dari lomba motret. Sesekali dia perbesar untuk melihat lebih dari dekat obyek
foto yang telah tersimpan di kartu memori kameranya.
“Kalian itu orang-orang terpelajar kok
ya lihat orang cantik seperti di iklan hanya dari wujud fisiknya. Wong ayu kudu
kulitnya putih, body-nya ramping nawon kemit. Jangan-jangan, kriteria fisik itu
juga yang menonjol dalam pemilihan Putra Putri Solo tadi mas,” Kang Brengos membombardir
tiga sekawan.
Tidak jarang kontes ala Putri Solo
memang hanya jadi ajang cantik-cantikan. Padahal predikat Putri Solo
sesungguhnya teramat berat. Siapapun yang terpilih menyandang beban berat
karena sosoknya akan dianggap representasi dari wong Solo. Tentu tak hanya
seperti yang diilustrasikan di lagu keroncong tadi.
“Mungkin karena persepsi Putri Solo
itu harus luwes, gemulai, cantik, kenes dan sebagai, membuat mereka yang
terpilih ditempatkan sebagau pager ayu, tukang bawa baki saat ada seremonial ya
kang,” kata Kasan.
“La ya to, sudah capek-capek ikut
proses ini dan itu, kok cuma disuruh gituan ya. Apa nggak eman-eman potensi
yang dimiliki,” sahut Murdiyo. Sahut-sahutan antara empat orang kian ramai.
Sesekali Kang Brengos meninggalkan ketiganya karena ada pengunjung lain yang
perlu diladeni.
“Kayaknya sih harus diperjelas dulu ya
seperti apa kriteria Putra Putri Solo itu. Apa benar kriterianya menggambarkan
karakter Wong Solo. Apapun mereka jadi simbol lho meski hanya bawa baki,” kata
Dono yang akhirnya buka suara.
“Saya kok khawatir kalau pun dibuat
kriteria, kriteria Putri Solo itu sarat dengan stereotip seperti di lagu
keroncong tadi yang rasanya juga bias gender,” tambah Kang Brengos.
Debat kusir yang tak ada juntrungnya
itu sepertinya tak akan berakhir jika tak terdengar suara ayam berkokok. Hari
telah bergerak pagi. Denyut kota tak pernah berhenti. Semoga (Putra) Putri Solo
terpilih tak hanya menjadi pajangan seperti putri Keraton di masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar