Minggu, 13 Januari 2013

Putri Solo


Yen ngguyu dhekik pipine//Ireng manis kulitane/Dadi lan manise//
Lamat-lamat terdengar lagu keroncong itu saat tiga sekawan, Dono, Murdiyo, dan Kasan tiba di Wedangan Kang Brengos. Suaranya agak cempreng karena speaker handphone yang dipenuhi download-tan MP3 itu terlampau kecil. Bagi sebagian orang Solo, penggalan keroncong klasik itu tak asing. Putri Solo, judulnya.  Penyanyi keroncong kenamaan dari Waldjinah, Soendari Soekotjo dan sebagainya pernah merekam suaranya untuk lagu ini.

Entah siapa yang menggubahnya. Liriknya yang dianggap sementara orang sebagai penyandra atau gambaran sosok Putri Solo. Penggalan terakhir yang secara bebas berarti “kalau tersenyum kelihatan lesung pipitnya//hitam manis kulitnya/menjadi kelihatan manis sekali//” seolah meracuni siapapun untuk membayangkan keayuan sang putri. Kebetulan malam itu di halaman Balaikota Solo diadakan pemilihan Putra Putri Solo 2012.

“Ayu-ayu to kang putri-putri Solo ne tadi. Dapat kenalan nggak dari finalisnya,” kata Kang Brengos menyambut ketiga bujangan yang masih sabar berburu Putri Solo. Pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban  tetapi lebih sebagai uluk salam seorang penjual wedang kepada langganannya. Kang Brengos juga tak menunggu sampai ketiganya membuka suara. Dia langsung saja menyiapkan wedang jahe, teh tape, dan kopi tubruk yang sudah dihafal sebagai minuman kelangenan mereka.
“Rasanya tadi nggak ada ya lik putri Solo yang punya lesung pipit,” kata Dono. Pemuda yang jago motret itu membuka kameranya. Penasaran dengan wajah-wajah finalis Putri Solo dia ingin melihat ulang sosok finalis Putra Putri Solo. Kasan ikut melongok. Murdiyo pilih ngranggeh lentho di dalam lodong kaca.

“Tadi yang menang malah kulitnya kuning langsat kok, seperti putri idaman Dono. Dia semangat banget tadi motretnya,” sambar Murdiyo. Mulutnya omak-amuk ngunyah makanan yang terbuat dari kacang  itu. Kang Brengos mesam-mesem mendengar kata putri idaman, tidak jarang dirinya mendengar kata itu. Cewek yang diidam-idamkan laki-laki adalah cewek ayu yang punya punya kulit kuning langsat, bersih dan mulus.

“Kang Mur itu pancen lamur kok mripate. Di atas panggung ya semua kelihatan putih-putih kulitnya. Mencorong kabeh lha wong disorot lampu,” sahut Kasan menyanggah pengamatan sohibnya.

“Lha wong yang dilihat sama, duduknya juga jejer kok bisa beda to penilaiannya,” kata Kang Brengos sembari menaruh wedang di depan ketiga orang itu. Dono masih memeloti kamera digital hadiah dari lomba motret. Sesekali dia perbesar untuk melihat lebih dari dekat obyek foto yang telah tersimpan di kartu memori kameranya.
“Kalian itu orang-orang terpelajar kok ya lihat orang cantik seperti di iklan hanya dari wujud fisiknya. Wong ayu kudu kulitnya putih, body-nya ramping nawon kemit. Jangan-jangan, kriteria fisik itu juga yang menonjol dalam pemilihan Putra Putri Solo tadi mas,” Kang Brengos membombardir tiga sekawan.

Tidak jarang kontes ala Putri Solo memang hanya jadi ajang cantik-cantikan. Padahal predikat Putri Solo sesungguhnya teramat berat. Siapapun yang terpilih menyandang beban berat karena sosoknya akan dianggap representasi dari wong Solo. Tentu tak hanya seperti yang diilustrasikan di lagu keroncong tadi.
“Mungkin karena persepsi Putri Solo itu harus luwes, gemulai, cantik, kenes dan sebagai, membuat mereka yang terpilih ditempatkan sebagau pager ayu, tukang bawa baki saat ada seremonial ya kang,” kata Kasan.

“La ya to, sudah capek-capek ikut proses ini dan itu, kok cuma disuruh gituan ya. Apa nggak eman-eman potensi yang dimiliki,” sahut Murdiyo. Sahut-sahutan antara empat orang kian ramai. Sesekali Kang Brengos meninggalkan ketiganya karena ada pengunjung lain yang perlu diladeni.

“Kayaknya sih harus diperjelas dulu ya seperti apa kriteria Putra Putri Solo itu. Apa benar kriterianya menggambarkan karakter Wong Solo. Apapun mereka jadi simbol lho meski hanya bawa baki,” kata Dono yang akhirnya buka suara.
“Saya kok khawatir kalau pun dibuat kriteria, kriteria Putri Solo itu sarat dengan stereotip seperti di lagu keroncong tadi yang rasanya juga bias gender,” tambah Kang Brengos.

Debat kusir yang tak ada juntrungnya itu sepertinya tak akan berakhir jika tak terdengar suara ayam berkokok. Hari telah bergerak pagi. Denyut kota tak pernah berhenti. Semoga (Putra) Putri Solo terpilih tak hanya menjadi pajangan seperti putri Keraton di masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar